A. Kriteria Penggunaan Obat yang Rasional (KemenKes RI, 2011)
Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat (WHO,2011).
Penggunaan obat sendiri juga dilandasi oleh beberapa indikator lainnya. Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
1. Tepat diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut.
Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
Contoh I.
Anamnesis
Terapi
- Diare
- Diare disertai darah dan lendir
- Serta gejala tenesmus
- Metronidazol
Diagnosis
- Amoebiasis
Contoh II.
Anamnesis
Terapi
- Diare
- disertai gejala tenesmus
- Bukan Metronidazol
Diagnosis
- Amoebiasis
Pada contoh II,
Bila pemeriksa tidak jeli untuk menanyakan adanya darah dalam feses, maka bisa saja diagnosis yang dibuat menjadi kolera. Untuk yang terakhir ini obat yang diperlukan adalah tetrasiklin. Akibatnya penderita amboebiasis di atas terpaksa mendapat tetrasiklin yang sama sekali bukan antibiotik pilihan untuk amobiasis.
2. Tepat pemilihan obat,
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang harus memiliki efek terapi sesuai dengan spekrum penyakit.
Contoh:
Gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan inflamasi. Untuk sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena disamping efek antipiretiknya, obat ini
relatif paling aman dibandingkan dengan antipiretik lainnya. Pemberian antiinflamasi nonsteroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat peradangan atau inflamasi.
3. Tepat indikasi penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
4. Tepat dosis,
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping, sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan,
5. Tepat cara pemberian,
Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibitoik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.
6. Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
7. Waspada terhadap efek samping obat
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu bila terjadi muka atau wajah menjadi merah setelah pemberian obat (misalnya atropin), ini bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
8. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
Beberapa kondisi harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.
- β-bloker (misalnya propanolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberikan efek bronkospasme.
- Antiinflamsi nonsteroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asam.
- Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klopropamid, aminoglikosida dan allupurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati hati, karena waktu paruh obat obat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga rtesiko efek toksisnya juga meningkat pada pemberian secara berulang.
Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin, doksisiklin dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari, karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.
10. Efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.
Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.
11. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi
Sebagai contoh:
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
12. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.
Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti.
Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan.
13. Tepat penyerahan obat (Dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.
Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien.
Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
14. Pasien patuh
Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
- Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu.
B. Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional (Kemenkes RI, 2011)
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Peresepan berlebih (Overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.
Contoh:
- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus)
- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan
- Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit tersebut.
- Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek yang tidak diinginkan seperti interaksi, efek samping.
2. Peresepan kurang (Underprescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini.
Contoh :
- Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
- Tidak memberikan oral pada anak yang jelas menderita diare.
- Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare
3. Peresepan majemuk (Multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
- Amoksisilin,
- Parasetamol,
- Gliseril guaiakolat,
- Deksamelason,
- CTM, dan
- Luminal.
4. Peresepan salah (Incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya.
Contoh:
- Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofloksasin & ofloksasin) untuk anak.
- Meresepkan asam mefenamat untuk demam. Bukannya parasetamol yang lebih aman
Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari hari dan umumnya tidak disadari oleh para klinisi.
Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi selalu mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya.
Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional.
C. Ketidakrasionalan Penggunaan Obat dalam Praktek Sehari-hari (Kemenkes RI, 2011)
Beberapa contoh ketidakrasionalan penggunaan obat yang dapat dijumpai sehari-hari yaitu:
- Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh: Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal intervensi gizi jauh lebih bermanfaat. - Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh: Pemberian injeksi vitamin 812 untuk keluhan pegal linu. - Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh:
– Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin sesudah makan, padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau di antara dua makan.
– Frekuensi pemberian amoksisilin 3x sehari, padahal yang benar adalah diberikan 1 kaplet tiap 8 jam. - Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit tenggorok atau sakit menelan, padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman dan efficacious. - Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh: Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relatif mahal padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih murah tersedia. - Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya
Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru dapat merugikan pasien. - Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh: Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.
D. Studi Kasus
Studi kasus merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok yang membahas, mendiskusikan serta mencari solusi dari permasalahan mengenai penggunaan obat. Studi kasus ini di bagi menjadi beberapa kelompok, di antaranya:
1. Kelompok I
- Kapan pemakaian obat dikatakan rasional?
- Beri contoh untuk masing masing kerasionalan tersebut!
2. Kelompok 2
Contoh Kasus 2. Seorang pasien dewasa datang ke Puskesmas A dengan keluhan berak encer sebanyak 3 kali, tanpa lendir dan darah, dan badan terasa pegal-pegal. Setelah diperiksa, pasien mendapat obat-obat berikut:
- injeksi vitamin B12 1 kali selama satu hari
- metronidazol 3×1 selama 3 hari
- metampiron 3×1 selama 3 hari
- ekstrak beladon 3×1 selama 3 hari
Apa komentar kamu mengenai peresepan di atas?
3. Kelompok 3
Kasus 3. Seorang pasien wanita berumur 35 tahun datang dengan keluhan siku kanan terasa linu. Sebelumnya pasien mencuci baju karena pembantu pulang kampung. Setelah diperiksa pasien diberi obat obatan berikut:
- injeksi oksitetrasiklin
- tablet ibuprofen 3 x 1 selama 5 hari
- tablet ranitidin 3 x 1 selama 5 hari
- tablet prednison 3 x 1 selama 5 hari
- vitamin Bl 50 mg 3 x 1 selama 5 hari
Apa komentar kamu mengenai peresepan di atas ? Bagaimana peresapan yang rasional untuk pasien tersebut?
4. Kelompok 4
Kasus 4. Seorang anak berumur 8 bulan, dengan berat badan 8 kg datang dengan batuk sudah 1 minggu, pilek dan muntah bila batuk. Suhu tubuh 37,5° C.
Pasien tersebut diberi obat sebagai berikut:
R/ Amoxycillin ¼ tablet
Parasetamol ¼ tablet
D M P ¼ tablet
C T M ¼ tablet
Prednison ¼ tablet
B C ½ tab
mf dtd No. XV
S 3ddp I
R/ Syrup Metoclopramide No. I botol
S 3ddcth
- Jelaskan bagaimana kerasionalan peresepan tersebut di atas?
- Jika terdapat ketidakrasionalan, identifikasi bentuk ketidakrasionalannya!
- Bagaimana resep yang rasional untuk anak tersebut?
E. Dampak Ketidakrasionalan Penggunaan Obat (Kemenkes RI, 2011)
Beberapa dampak negatif dari penggunaan obat yang tidak rasional, di antaranya yaitu:
1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit.
Sebagai contoh, penderita diare akut non spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan.
2. Dampak terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien.
Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga lebih terjangkau telah tersedia.