Jaminan Mutu Pelayanan Apotek: Metode, Standar, dan Evaluasi Kepuasan Pasien

Jaminan Mutu Pelayanan Apotek – Setiap konsumen, termasuk pasien di apotek, menginginkan mendapatkan barang atau jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pasien yang datang ke apotek kebanyakan menginginkan obat yang diinginkan tersedia, manjur, aman, terjangkau, dan disertai dengan pelayanan yang ramah dan cepat ketika membeli obat.

Apabila apotek mampu memenuhi yang dibutuhkan pasien tersebut, seiring berjalannya waktu, citra apotek yang berkualitas/bermutu akan muncul. Apoteker dalam mengelola dan melayani pasien hendaknya berangkat dari semangat memenuhi kebutuhan pasien dengan tetap berpegang pada peraturan kefarmasian yang berlaku.

Kualitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (Heizer dan Render, 2009). Berangkat dari definisi ini, apotek yang berkualitas/bermutu adalah apotek yang mampu menyediakan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai (beserta informasi) yang dibutuhkan, menjalankan kegiatan farmasi klinik sesuai dengan standar, dan melayani sesuai dengan nilai yang diinginkan pasien.

Kualitas tidak dapat muncul begitu saja, akan tetapi harus dibangun dan senantiasa dievaluasi agar selalu meningkat. Kualitas sangat penting bagi apotek bukan hanya dilihat dari sisi bisnis semata, yaitu peningkatan kualitas berhubungan dengan peningkatan keuntungan, akan tetapi kualitas apotek juga harus dipandang sebagai tanggung jawab apotek terhadap keselamatan pasien.

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Mutu pelayanan di apotek sangat diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah sadar bahwa apotek merupakan pintu akhir bertemunya obat dengan pasien. Agar obat dapat dimanfaatkan pasien dengan benar, maka pintu akhir ini haruslah berkualitas/bermutu tinggi.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 yang mengatur standar pelayanan kefarmasian di apotek. Permenkes ini menggantikan standar pelayanan kefarmasian yang lama, yaitu Kepmenkes 1027 Tahun 2004.

Permenkes 35/2014 lahir untuk:

  1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian
  2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
  3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien.

Ada tiga aspek yang diatur oleh Permenkes 35/2014 untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di apotek. Ketiga aspek tersebut adalah:

  1. Aspek Manajerial
    Aspek manajerial berkaitan dengan kegiatan perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
  2. Aspek Farmasi Klinik
    Aspek farmasi klinik meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, home care, pemantauan terapi obat, dan monitoring efek samping obat.
  3. Aspek Pendukung
    Aspek pendukung merupakan komponen yang mendukung terselenggaranya kegiatan manajerial dan farmasi klinik, yaitu sumber daya manusia dan sarana-prasarana.

Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilakukan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya adalah:

  1. Audit
    Audit merupakan penilaian kinerja yang dibandingkan dengan standar yang ada.
  2. Review
    Review merupakan kajian terhadap pelaksanaan kegiatan tanpa dibandingkan dengan standar.
  3. Observasi
    Observasi merupakan pengamatan terhadap suatu objek berdasarkan monitoring.
  4. Survei
    Survei merupakan pengumpulan data dengan atau tanpa alat bantu kuesioner.

Indikator evaluasi mutu manajerial meliputi kesesuaian proses terhadap standar, serta efektivitas dan efisiensi. Sedangkan evaluasi mutu pelayanan farmasi klinik meliputi zero defect dari medication error, kesesuaian proses terhadap standar, lama waktu pelayanan resep, serta output terapi.

Evaluasi Mutu Manajerial

1. Audit Standar Prosedur Operasional

Idealnya selalu ada standar prosedur operasional untuk setiap tahap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP. Dimulai dari perencanaan hingga pelaporan.

Sebuah prosedur operasional setidaknya memuat:

  • Tujuan
  • Ruang lingkup
  • Hasil
  • Persyaratan
  • Proses.

Audit dilakukan dengan menilai tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan atau tidak. Untuk mempermudah penilaian tersebut, dapat digunakan lembar kerja seperti pada tabel berikut.

Contoh lembar penilaian audit sop
Contoh lembar penilaian audit SOP

Tabel di atas dapat membantu apoteker untuk melihat apakah setiap prosedur telah dilakukan atau tidak dilakukan. Prosedur yang tidak dilakukan dapat teridentifikasi sehingga dapat diambil tindakan untuk memperbaikinya.

Hasil audit dikatakan baik apabila semua prosedur tertulis yang telah ditetapkan 100% dilakukan setiap saat.

2. Audit Stok Sediaan Farmasi

Audit ini sering disebut dengan stock opname. Audit dilakukan dengan menilai apakah jumlah barang yang ada sesuai dengan yang tercatat pada kartu stok atau stok yang tercatat pada komputer. Stok yang tercatat adalah standar yang digunakan sebagai pembanding.

Hasil audit dikatakan baik apabila jumlah barang sebenarnya sama dengan yang tercatat. Kategorisasi dapat juga dilakukan untuk menyatakan hasil audit. misalnya baik apabila 100% sesuai, cukup apabila 90-99% sesuai, dan kurang apabila kesesuaian di bawah 90%.

3. Audit Keuangan

Audit keuangan dapat dilakukan pada dua hal, yaitu kesesuaian fisik uang dengan catatan, dan ketercapaian kinerja keuangan terhadap indikator keuangan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Hasil audit dikatakan baik apabila jumlah fisik uang sesuai dengan catatan serta semua indikator tercapai. Tabel di bawah ini merupakan contoh lembar kerja yang dapat digunakan untuk mempermudah audit keuangan. Indikator dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.

Contoh lembar audit keuangan apotek
Contoh lembar audit keuangan apotek

4. Review Stok Slow Moving – Fast Moving

Apoteker dapat melakukan klasifikasi stok slow maving dan fast moving berdasar pada data penjualan dalam suatu periode. Hasil review dapat digunakan untuk bertindak/mengambil keputusan terhadap stok barang.

Misalnya mem-buffer item obat yang fast moving supaya tidak terjadi kekosongan stok, meminimalisasi stok untuk item slow moving agar tidak banyak item yang kedaluwarsa, atau bahkan drying stock untuk item obat very slow moving.

5. Review Harga Obat

Walaupun terdapat kaidah standar dalam pemberian harga, tetapi sangat mungkin harga obat berbeda antara apotek satu dengan apotek yang lain. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena:

  • harga dasar obat berbeda dari PBF (terdapat PBF yang memberi harga mahal, ada yang murah).
  • memasukkan diskon obat dari PBF dalam perhitungan harga jual apotek.
  • mengubah margin, misalkan menurunkan margin untuk item fast moving agar apotek terlihat terjangkau, atau menaikkan margin untuk item obat yang memiliki rentang HET yang lebar.
Baca juga:  Peran dan Tugas Apoteker di Apotek, Rumah Sakit, dan Klinik Kecantikan

Review harga obat ini penting dilakukan, terlebih apabila pasien apotek merupakan pasien yang sensitif dengan harga. Sangat mungkin nilai terjangkau atau murah adalah yang diinginkan oleh pasien.

Review harga obat juga perlu dilakukan untuk melihat apakah harga jual apotek yang telah ditetapkan tidak melebihi harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Peninjauan kembali/revisi harga jual apotek dapat dilakukan sesuai dengan hasil review apoteker.

Evaluasi Mutu Pelayanan Farmasi Klinik

1. Audit Penyerahan Obat kepada Pasien

Audit penyerahan obat kepada pasien dapat dilakukan dengan dibandingkan dengan standar yang telah dibuat sebelumnya seperti obat harus diserahkan oleh apoteker, penyerahan obat disertai dengan informasi yang diperlukan.

2. Audit Waktu Pelayanan

Permenkes 35/2014 memberikan standar waktu pelayanan resep adalah 15-30 menit. Audit dapat dilakukan dengan mengacu pada standar tersebut. Apabila target tersebut tidak tercapai, maka apoteker harus mencari proses mana yang menjadi bottle neck.

3. Review Medication Error

Idealnya tidak boleh terdapat medication error di dalam pelayanan kefarmasian. Apabila terdapat medication error, maka apoteker harus melakukan review.

Review dapat dimulai dengan mendata kejadian medication error yang muncul, melakukan kategorisasi, kemudian mengambil tindakan untuk mencegah terulangnya kejadian yang sama.

4. Survei Kepuasan Pelanggan

Survei kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan bantuan kuesioner. Aspek yang biasanya dinilai untuk mengetahui kepuasan pelanggan adalah responsiveness, reliability, assurance, emphaty, tangible.

Apabila metode yang digunakan adalah audit, standar yang menjadi acuan dalam menilai kepuasan pelanggan adalah proporsi customer yang merasa puas dan peningkatan jumlah customer dalam kurun waktu tertentu.

5. Observasi Pelaksanaan SPO (Standar Prosedur Operasional)

Kegiatan ini hampir sama dengan audit kesesuaian SPO, hanya saja pada kegiatan observasi tidak dibandingkan dengan standar, dan data yang diperoleh adalah data awal saja.

Kepuasan Pelanggan Sebagai Bagian dari Mutu Pelayanan

Kepuasan pelanggan merupakan perasaan yang timbul dari membandingkan antara harapan dan kinerja (Kotler dan Keller, 2011). Pelanggan akan merasa puas apabila hasil kinerja produk/jasa yang diterimanya sama atau lebih dari yang diharapkan.

Akan tetapi, pelanggan akan merasa tidak puas atau bahkan kecewa apabila hasil kinerja produk/jasa di bawah yang diharapkan. Menurut Parasuraman (1988), terdapat lima atribut yang membangun mutu pelayanan, kelimanya adalah sebagai berikut.

1. Tangible

Aspek ini mencakup segala hal yang tampak dan dapat dilihat, seperti fasilitas fisik yang dapat digunakan oleh pelanggan, tampilan layout, penampilan karyawan, dan lain-lain. Tabel di bawah ini merupakan contoh kuesioner pengukuran aspek tangible.

Contoh kuesioner pengukuran aspek tangible
Contoh kuesioner pengukuran aspek tangible

2. Realibility

Aspek keandalan merupakan ukuran kemampuan suatu produk atau jasa memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan. Tabel di bawah ini contoh kuesioner pengukuran aspek realibility.

Contoh kuesioner pengukuran aspek realibility
Contoh kuesioner pengukuran aspek realibility

3. Responsiveness

Aspek daya tanggap merupakan ukuran yang dirasakan pelanggan mengenai keinginan penyedia produk/jasa untuk membantu pelanggannya. Tabel berikut di bawah ini merupakan contoh kuesioner pengukuran aspek responsiveness.

Contoh kuesioner pengukuran aspek responsiveness
Contoh kuesioner pengukuran aspek responsiveness

4. Assurance

Aspek jaminan mencakup kemampuan penyedia produk/jasa dalam memberikan rasa percaya terhadap produk/jasanya kepada pelanggan. Tabel di bawah ini merupakan contoh koesioner pengukuran aspek assurance.

Contoh kuesioner pengukuran aspek assurance
Contoh kuesioner pengukuran aspek assurance

5. Empathy

Aspek perhatian merupakan ukuran yang dirasakan pelanggan mengenai kemudahan, komunikasi, dan perhatian penyedia produk/jasa terhadap kebutuhannya. Tabel di bawah ini merupakan contoh kuesioner pengukuran aspek empathy.

Contoh kuesioner pengukuran aspek emphathy
Contoh kuesioner pengukuran aspek emphathy

Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Pelanggan pada Pelayanan Apotek

Beberapa faktor yang memengaruhi kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut.

1. Kemudahan

Kemudahan pasien untuk mengakses apotek menjadi faktor yang memengaruhi kepuasan pasien/konsumen. Apoteker ketika akan mendirikan apotek harus memperhatikan faktor ini.

Hal ini dapat dilakukan dengan mencari lokasi yang strategis dari segi transportasi (mudah untuk menuju ke lokasi apotek); dekat dengan penyedia pelayanan kesehatan, misalnya rumah sakit, klinik, praktik dokter dan puskesmas; dekat dengan pemukiman penduduk yang memiliki kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang mana ketika masyarakat sakit mencari pelayanan kesehatan dan obat, tidak ke paranormal, dukun, atau ke ahli nujum.

2. Kelengkapan Obat

Konsumen ketika mencari obat menginginkan seperti yang pasien cari, sehingga mereka tidak suka kalau ditolak resepnya atau alasan obatnya belum tersedia di apotek. Hal ini harus disikapi oleh apotek untuk berupaya melengkapi obat dan sediaan lainnya.

Kelengkapan obat di apotek dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF), membuat jejaring apotek, serta dapat melakukan manajemen channel.

Faktor penentu lain yang berpengaruh juga adalah kemampuan apoteker untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pasien.

Hal ini diperlukan dengan melakukan subtitusi, seperti dalam Pasal 24 Ayat b PP Nomor 51/2009 yang menyebutkan bahwa dalam pelayanan kefarmasian, apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

Baca juga:  19 Syarat dan Mekanisme Pengajuan Mendirikan Apotek

3. Delivery Time

Lama pelayanan merupakan faktor paling kritis menurut pasien. Delivery time adalah lama pelayanan obat dari pasien menyerahkan resep sampai pasien menerima obat dan informasi obat.

Pelayanan obat di apotek merupakan titik jenuh terakhir sebelum obat diberikan ke pasien, yang sebelumnya pasien harus ke dokter, cek kesehatan di laboratorium (jika diperlukan), kemudian mendapatkan resep, dan yang terakhir membeli obat di apotek.

Kondisi seperti ini yang mendorong pasien untuk segera memperoleh obat dengan cepat. Namun, dengan pelayanan yang cepat, potensial terjadinya kesalahan (medication error) lebih besar. Kondisi seperti ini harus disikapi oleh apoteker di apotek untuk selalu waspada dan menerapkan SOP (Standar Operating Procedure).

4. Keramahan Karyawan

Keramahan karyawan, terlebih tenaga kefarmasian dapat menjadi poin penting yang menyebabkan pasien loyal terhadap apotek.

Pasien akan mencari apotek yang karyawannya mampu melayani dengan baik, selalu tersenyum, aktif berkomunikasi, dan santun. Apabila pasien tidak sensitif dengan harga, keramahan karyawan menjadi faktor yang menentukan.

5. Harga

Harga menjadi salah satu faktor konsumen memilih apotek, terutama pasien yang sensitif terhadap harga obat. Pasien yang sensitif terhadap harga obat selalu berupaya menawar harga yang lebih murah.

Apoteker harus berupaya untuk menetapkan harga yang terjangkau dan bersaing dengan kompetitornya.
Kepuasan pelanggan tidak hanya dapat diukur menggunakan metode survei.

Metode Mengukur Kepuasan Pelanggan Apotek

Menurut Tjiptono dan Chandra (2005), beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut.

1. Sistem Keluhan dan Saran

Keluhan dan saran dari pelanggan sebenarnya merupakan hal yang penting. Dari keluhan dan saran tersebut, ide-ide dapat muncul untuk perbaikan pelayanan. Penyedia produk/jasa sebaiknya memberikan fasilitas pelanggannya untuk menyampaikan keluhan dan sarannya.

Penyediaan kotak kritik dan saran adalah salah satu alat yang dapat memfasilitasi pelanggan. Namun, seiring perkembangan teknologi dan informasi, penyampaian keluhan dan saran dapat melalui media elektronik seperti email, sosial media, website, sampai dengan sms hotline.

Kelemahan dari metode ini adalah sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan pelanggan karena metode ini bersifat pasif. Tidak semua pelanggan yang tidak puas menyampaikan keluhannya.

2. Ghost Shopping

Beberapa orang direkrut untuk berperan sebagai pembeli di perusahaan dan di perusahaan pesaing. Mereka kemudian dapat menyampaikan mengenai yang dirasakan, diamati, dan dialami pada saat menjalankan peran tersebut.

3. Lost Customer Analysis

Penyedia produk/jasa sebaiknya menghubungi para pelanggan yang telah beralih ke penyedia produk/jasa yang lainnya. Temuan-temuan khususnya mengenai alasan mereka tidak menjadi pelanggan merupakan bahan evaluasi dan kemudian harus diperbaiki.

Pengukuran mengenai turunnya pelanggan juga merupakan salah satu indikator kepuasan pelanggan. Apabila seiring berjalannya waktu jumlah pelanggan terus turun, maka kepuasan pelanggannya rendah.

4. Survei Kepuasan Pelanggan

Survei kepuasan pelanggan dapat dilakukan secara langsung (bertemu dengan pelanggan) ataupun via telepon dan yang lainnya. Apotek merupakan salah satu dari fasilitas tingkat pertama/primer pada Sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

Longe (2015) menemukan bahwa ketersediaan obat, waktu pelayanan, dan infomasi obat berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pasien rawat jalan peserta JKN di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek jejaring. Ketiganya memegang peranan 48,4% dalam membentuk kepuasan pasien seperti pada tabel di bawah ini.

Kepuasan pasien rawat jalan jkn
Kepuasan pasien rawat jalan JKN

Pada umumnya, pasien merasakan puas dengan ketersediaan obat pada fasilitas pelayanan tingkat pertama karena pasien mendapatkan obat yang dibutuhkan. Beberapa pasien mengeluhkan harus bolak-balik ke fasilitas pelayanan primer karena obat yang diberikan terbatas.

Waktu pelayanankefarmasian pun relatif cepat. Informasi obat mengenai cara penggunaan, waktu penggunaan, dan lama penggunaan pun dapat dipahami dengan mudah oleh pasien. Hasil ini memberikan gambaran apabila apotek ingin meningkatkan kepuasan pelanggannya, ketersediaan obat, waktu pelayanan, dan informasi obat harus sangat diperhatikan.

Ketiga hal tersebut merupakan faktor kunci yang memegang hampir 50% faktor penyusun kepuasan pelanggan.

Merancang Jaminan Mutu Apotek

Mutu/kualitas harus selalu dijamin pada taraf tertinggi yang dapat diupayakan. Untuk mencapainya, perlu dilakukan perbaikan berkesinambungan yang tidak pernah berhenti. Tujuan akhir dari proses ini adalah kesempurnaan yang tidak akan pernah diraih, tetapi selalu diupayakan.

Rangkaian proses ini dapat dilakukan dengan pola PDCA (Plan, Do, Check, Act) (Heizer dan Render, 2009).

Proses PDCA tersebut dalam konteks pelayanan kefarmasian di apotek dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini.

  1. mengidentifikasi masalah atau menentukan perbaikan yang akan dilakukan
  2. menguraikan proses pelayanan
  3. menganalisis situasi saat ini
  4. menentukan standar yang akan dicapai
  5. melakukan usaha peningkatan pelayanan
  6. melakukan uji coba
  7. membuat alat untuk pengawasan
  8. membuat alat untuk pelaporan
  9. mengawasi sampai keadaan ideal tercapai
  10. membuat SOP baru dan melanjutkan ke program quality assurance.

Contoh Kasus dalam Pelayanan di Apotek

Keluhan Pasien Menunggu Terlalu Lama

Apoteker Pengelola Apotek menerima keluhan dari pasien yang menunggu terlalu lama. Pasien berharap apotek dapat menambah tenaga kefarmasiannya agar pelayanan dapat lebih cepat.

Tenaga kefarmasian dibagi menjadi dua shift ketika melayani pasien, yaitu pada pukul 07.00-14.00 dan pukul 14.00-21.00. Setiap shift terdiri atas satu apoteker dan satu tenaga teknis kefarmasian.

Baca juga:  19 Syarat dan Mekanisme Pengajuan Mendirikan Apotek

Apa yang seharusnya dilakukan oleh apoteker tersebut?

Penyelesaian

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh apoteker adalah mengidentifikasi masalah. Apakah setiap saat terjadi penumpukan pasien atau hanya pada jam-jam tertentu saja. Diagram sebar dapat digunakan untuk memetakan masalah tersebut.

Tabel pengamatan keluhan pasien di apotek
Tabel pengamatan keluhan pasien di apotek

Berdasarkan diagram sebar di atas, dapat diketahui bahwa kejadian pasien menunggu terjadi pada rentang pukul 16.01-19.00. Selain pada rentang tersebut, hampir tidak ada penumpukan pasien.

Apoteker selanjutnya dapat membuat target penurunan jumlah penumpukan, misalnya hanya ada dua kali terdapat dua pasien yang menumpuk pada satu waktu. Setelah target ditetapkan, apoteker dapat melakukan usaha untuk menuju tercapainya target tersebut.

Apabila menambah tenaga kefarmasian belum memungkinkan, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menggeser jam kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). TTK shift pagi, digeser kerjanya dari pukul 07.00-14.00 menjadi 10.30-17.30.

Dengan demikian, pada jam sibuk pasien akan dilayani oleh tiga tenaga kefarmasian. Jumlah pasien yang menunggu diharapkan dapat berkurang. Uji coba tersebut dapat dilakukan beberapa waktu sebelum benar-benar ditetapkan sebagai sebuah keputusan.

Kontrol dapat dilakukan dengan alat diagram sebar seperti contoh di atas. Apakah dengan pergeseran jam kerja tersebut dapat mengurangi jumlah penumpukan pasien pada pukul 16.01-18.00 serta tidak menambah penumpukan pada pukul 07.00-10.00 atau tidak.

Jika cara tersebut sudah dapat mengatasi masalah, pergeseran jam kerja secara tetap dapat diputuskan. Evaluasi secara periodik tetap harus dilakukan. Namun, apabila dengan cara tersebut keadaan ideal tidak dapat tercapai, penambahan jumlah karyawan mungkin harus dilakukan.

Contoh SOP (Standar Operasional Prosedur) di Apotek

Keterangan:

  • Apt = Apoteker
  • TTK = Tenaga Teknis Kefarmasian
Prosedur Pelayanan Pasien OTC di Apotek
No.ProsedurPJ
1.TK tersenyum dan menyapa pasien terlebih dahuluApt/TTK
2.TK menanyakan keluhan yang dirasakan walaupun pasien langsung menyebut merek obat tertentuApt/TTK
3.TK memilihkan dan mengambilkan obat yang sesuaiApt/TTK
4.TK memberi informasi aturan pakai dan minimal 1 informasi lainnya yang meliputi: Penyimpanan Tanggal kedaluwarsa
Terapi nonfarmakologi yang sesuai
Apt/TTK
5.TK melayani pembayaranApt/TTK
6.TK mengucapkan terima kasihApt/TTK
Prosedur Pelayanan Pasien OWA di Apotek
No.ProsedurPJ
1.Apt tersenyum dan menyapa pasien terlebih dahuluApt.
2.Apt menanyakan keluhan yang dirasakan walaupun pasien langsung menyebut merek obat tertentuApt.
3.Apt memilihkan dan mengambilkan obat yang sesuaiApt.
4.Apt memberi informasi aturan pakai dan minimal 1 informas lainnya yang meliputi:
- Penyimpanan
- Tanggal kedaluwarsa
- Terapi nonfarmakologi yang sesuai
Apt.
5.TK melayani pembayaranApt./TTK
6.Apt mengucapkan terima kasihApt.
7.Apt mendokumentasikan pelayanan OWA di buku pelayanan OWAApt.
Prosedur Pelayanan Pasien dengan Resep di Apotek
No.ProsedurPJ
1.Prosedur Apoteker tersenyum dan menyapa pasienApt.
2.Apoteker menerima resep dan menanyakan 1 atau 2 dari 3 'Three Prime Question'Apt.
3.Apoteker melakukan 'skrining' resepApt.
4.Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter jika ditemukan masalah kategori klinisApt.
5.Apoteker dapat mengganti obat pada resep sesuai dengan peraturan perundangan yang berlakuApt.
6.Apoteker meminta persetujuan harga kepada pasienApt.
7.TTK menyiapkan obat dan menulis etiket yang sekurang kurangnya meliputi:
a. Tanggal
b. Nama Pasien
c. Aturan Pakai
d. Perhatian/Keterangan Tambahan
TTK
8.Apoteker memeriksa kembali dan menandatangani etiketApt.
9.Apoteker menuliskan 'copy' resep jika diperlukanApt.
10.Apoteker menyerahkan obat kepada pasien disertai informasi sebagai berikut:
a. Jawaban dari TPQ yang telah ditanyakan
b. Penyimpanan
c. Terapi nonfarmakologi
Apt.
11.Apoteker mencatat alamat dan nomer telepon pasienApt.
12.TK melayani pembayaranApt./TTK
13.TK mengucapkan terima kasihApt./TTK
14.TTK mendokumentasikan resep di buku dokumentasi resepApt./TTK
Prosedur Pemesanan, Penerimaan, dan Retur Sediaan Farmasi/Alat Kesehatan/ BMHP di Apotek
No.UraianPJ
1.Uraian Apoteker memesankan sediaan farmasi/alkes/bmhp kepada distributor dengan surat pesanan (SP) bernomor (rangkap 2)Apt.
2.Apoteker menyerahkan lembar pertama SP kepada distributor dan memasukkan lembar kedua SP ke dalam boks pemesananApt.
3.TK menerima barang yang datang, memeriksa jenis dan jumlahnya dengan faktur dan SP. Barang yang tidak sesuai dengan SP wajib diretur pada saat itu juga (coret faktur)TTK
4.Apoteker menandatangani fakturApt
Prosedur Administrasi Faktur di Apotek
No.UraianPJ
1.Copy faktur datang di masukkan ke box belum dientri Admin
2.Copy faktur dientri ke komputer maksimal H+1 tanggal fakturAdmin
3.Copy faktur yang telah dientri dimasukkan ke map inkaso berdasarkan PBF yang diurutkan tanggalAdmin
4.Copy faktur yang akan diinkaso pagi hari disiapkan pada malam harinya. Copy faktur tersebut di masukkan ke box siap bayarAdmin
5.Copy faktur yang telah dibayar dibubuhi tanda lunas oleh collector dan dicatat di buku inkasoAdmin
6.Faktur asli distaples dengan copy faktur, kemudian dimasukkan ke box sudah dibayarAdmin
7.Faktur lunas dientri ke dalam komputer maksimal H+1 tanggal lunasAdmin

Pustaka:
Satibi, M. Rifqi Rokhman, Hardika Aditama. 2016. Manajemen Apotek. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Tinggalkan komentar