Pada pembahasan mengenai farmakodinamik ini, kita akan memberikan beberapa sub penjelasan, seperti definisi/arti farmakodinamik, mekanisme dasar kerja obat beserta contohnya, pengertian reseptor, macam reseptor beserta contohnya, pengertian agonis, antagonis, antagonis parsial dan non kompetitif.
Berikut penjelasan selengkapnya.
Pengertian Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah bagian dari ilmu farmakologi yang mempelajari tentang bagaimana suatu obat (bahan aktif) bekerja sehingga menghasilkan efek biologis.
Dengan kata lain bahwa farmakodinamik adalah cabang dari ilmu farmakologi yang mempelajari apa yang dilakukan obat terhadap tubuh.
Mekanisme Kerja Obat
Efek suatu obat dapat terjadi jika molekul obat berikatan dengan suatu molekul spesifiknya, sehingga menyebabkan reaksi biokimiawi dan menghasilkan efek biologis.
Molekul spesifik tersebut merupakan binding site yang biasa disebut target obat. Interaksi antara molekul obat dan sel mendasari penjelasan molekuler interaksi obat dengan reseptornya. Paul Ehrlich menyatakan ‘Corpora non agunt nisi fixata’, yang berarti bahwa suatu obat tidak akan bekerja sampai dia berikatan (Rang, et al., 2011).
Pemahaman tentang mekanisme kerja obat merupakan dasar penentuan terapi rasional suatu obat dan desain obat baru serta unggulan dari suatu agen terapi (Brunton, et al., 2008).
Pada farmakodinamik dipelajari mekanisme kerja obat sampai menimbulkan respon klinik.
Pada Gambar 1, ditunjukkan bahwa efek obat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien, kesalahan medikasi, absorbsi, ukuran dan komposisi tubuh, distribusi pada cairan tubuh, ikatan obat pada plasma dan jaringan serta kecepatan eliminasi yang dalam hal ini termasuk dalam kajian farmakokinetik.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penentuan efek obat adalah variabel fisiologi dan patofisiologi, faktor genetik, interaksi dengan obat lain dan kemungkinan terjadinya toleransi yang nantinya mempengaruhi ikatan obat dengan reseptornya.
Mekanisme kerja obat secara umum dapat digolongkan menjadi 4 macam:
- Obat yang bekerja tidak melalui target spesifik Contoh : antasida, anestesi umum, osmotik diuretik.
- Obat yang bekerja dengan cara mengubah sistem transport. Contoh : kalsium antagonis, kardiak glikosida, obat anestesi local.
- Mengubah fungsi enzim. Contoh : COX inhibitor, MAO inhibitor, AChE inhibitor
- Obat yang bekerja pada reseptor Contoh: hormone, neurotransmiter.
Target dari obat dapat dikategorikan menjadi 4macam, yaitu reseptor, kanal ion, enzim, dan transporter (Rang, et al., 201 1).
Secara umum, bagian spesifik yang berikatan dengan obat berupa protein. Namun selalu ditemukan pengecualian, misalnya : antibiotic dan antitumor yang dapat berikatan langsung pada DNA, obat osteoporosis (biophosphonat) yang berikatan dengan garam kalsium pada matriks tulang (Rang & Dale, 2008), interaksi dengan molekul kecil misalnya ikatan logam berat dengan metalloproteinase.
Konsep Reseptor
Reseptor adalah komponen makro molekul dari sel yang dapat mengenali dan berinteraksi dengan substansi endogen untuk menghasilkan respon biologis.
Sedangkan obat atau substansi eksogen lainnya akan berikatan dengan ‘drug target’ nya untuk dapat memberikan respon biologis. Drug target atau reseptor ini umumnya berupa protein (Rang & Dale, 2011; Katzung, et al., 2015).
Molekul yang dapat berperan sebagai reseptor :
- Enzim (golongan tirosin kinase)
- Membran protein (glikoprotein, lipoprotein)
- Asam nukleat (reseptor antibiotik)
- Kompleks polisakarida
Karakteristik dari Reseptor
- Memiliki spesifisitas
Reseptor tertentu hanya akan berikatan dengan reseptor tertentu saja atau lebih dikenal dengan mekanisme ‘Lock and key’.
Obat A memiliki strukturyang kompatibel terhadap reseptornya sehingga dapat menimbulkan aksi. sedangkan obat B tidak dapat berikatan dengan reseptor tersebut karena memiliki struktur yang berbeda.
- Menghasilkan respon yang selektif
Oleh karena spesifitasnya, maka respon yang dihasilkan oleh ikatan reseptor-substrat (ligan) juga spesifik. - Memiliki sensitifitas
Diperlukan sejumlah ligan/obat tertentu untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan. Tidak ada obat yang sepenuhnya spesifik dalam aksinya, pada beberapa kasus peningkatan dosis dapat mempengaruhi target lain sehingga menimbulkan efek samping (Katzung, et al., 2010)
Tipe Protein pada Reseptor
- Regulator : memperantarai aksi endogenous ligan Misalnya : hormone. Neurotransmiter autokoid
- Enzim : dalam mekanismenya berperan menghambat maupun aktivasi Misalnya : dihidrofolase reductase, reseptor metotreksat
- Transport : memperantarai transport ion Misalnya : Na+/K_-ATPase pada digitalis glikosida
- Struktural : terintegrasi dalam strultur sel Misalnya : tubulin (reseptor untuk colchicine)
Macam-macam Reseptor
Reseptor dapat digolongkan menjadi 4 superfamili sebagai berikut.
1. Ligand-Gated Ion Channel Receptor
Ligand gated ion channel receptor (ionotropic receptor), merupakan reseptor yang terikat pada suatu kanal ion. Ligan yang berikatan dengan resptor ini menyebabkan terbukanya kanal ion sehingg akan mengubag potensial membran dan sel menjadi ter depolarisasi ataupun hiperpolarisasi (tergantung kanal dan ion yang keluar/masuk intrasel).
Kanal ion merupakan pintu gerbang ion-ion baik yang akan masuk maupun ke luar sel yang diatur secara sangat spesifik.
Oleh karena yang berkerja dan efektornya adalah ion dan tidak melibatkan mediator/molekul lainnya maka respon yang dihasilkan memiliki onset (mula kerja obat) yang sangat cepat (milidetik). Biasanya reseptor ini untuk aksi neurotransmiter yang sangat cepat.
Contoh : reseptor astilkolin nikotinik (nAChR), reseptor GABA, reseptor glutamate NMDA, AMPA
Terdiri dari 5 subunit (2 subunit a, dan masing masing 1 subunit β, δ dan γ). Ikatan Ach pada reseptornya akan membuka kanal ion sehingga ion Na+ akan masuk ke dalam sel (Katzung, et al, 2015).
2. G Protein Couple Receptor (GPCR)
G protein couple receptor (GPCR) disebut juga metabotropic receptor atau 7 transmembrane (heptahelical) receptor. G protein merupakan protein membran yang terusun oleh beberapa sub unit (αβγ) dan sub unit a yang memiliki aktivitas GTPase.
Reseptorjenis ini merupakan reseptor yang lebih banyak dijumpai dibanding jenis reseptor lainnya. Ligan akan berikatan dengan reseptor ini pada signal binding site yang berada di bagian ekstrasel. Reseptor ini memiliki 7 struktur transmembrane dengan bagian ujung ekstrasel terdiri dari gugus NH3+ (N terminal) dan ujung intrasel tersusun oleh gugus COO- (carboxyl terminal).
Ikatan ligand dengan binding site-nya akan melepaskan subunit α untuk mengaktifkan efektornya (membran enzim ataupun ion gated channel). Pada beberapa kasus sub unit βγ merupakan activator.
Aktivasi G protein dengan cara mengubah GDP menjadi GTP (mengalami phosphorilasi) dan membentuk kompleks dengan reseptor. Selanjutnya G protein yang aktif tersebut akan mendekati protein target, sehingga protein/enzim tersebut akan memberikan efek selular.
Jika efek selular dirasa cukup, maka protein G akan melepaska 1 atom Phosphat (dephosphorilasi) sehingga G protein kembali berikatan dengan GDP yang menyebabkan dilepaskannya ikatan ligan dengan reseptornya.
G protein meregulasi beberapa efektor seperti adenilat siklase, fosfolipase C dan membran plasma kanal ion. Onset jenis reseptor ini dalam hitungan beberapa menit.
Contoh : berbagai macam reseptor untuk biogenic amina seperti DA (dopamin), Ach (asetilkolin), histamin.
Sub unit α memiliki struktur yang dapat dikategorikan sebagai inhibitory dan stimulatory. Oleh karena sub unit ini menempel pada G protein, maka strutur sub unit ini menentukan jenis G protein itu sendiri, yakti apakan G protein tersebut berfungsi untuk menghambat atau berfungsi sebagai stimulator.
Target dari G protein antara lain :
a. Adenilat Siklase
Enzim ini berperan dalam pembentukan CAMP. CAMP mengontrol berbagai fungsi sel melalui berbagai jalur dengan cara mem fosforilasi berbagai enzim, carrier dan protein.
b. Fosfolipase C
Enzim yang berperan dalam pembentukan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG) dari membran fosfolipid. IP3 berfungsi meningkatkan kalsium intrasel dengan cara melepaskan CA2+ dari depo intrasel. Peningkatan kalsium dapat menyebabkan berbagai aktivitas seluler seperti kontraksi, sekresi, aktivitas enzim dan hiperpolarisasi membran.
Sedangkan DAG berperan dalam mengaktifkan PKC yang mengontrol berbagai fungsi seluler melalui fosforilase berbagai macam enzim.
c. Kanal ion, khususnya kanal kalsium dan potassium.
GPCR juga mengaktifkan kanal ion sehingga memperngaruhi eksitabilitas membran, pelepasan transmitter dan kontraktilitas.
d. Rho A/Rho kinase
Yaitu suatu sistem yang mengontrol aktivitas beberapa jalur signaling seperti mengontrol pertumbuhan dan proliferasi, kontraksi otot, angiogenesis, synaptic remodeling dll. Jalur signaling Rho merupakan yan terakhir ditemukan. Rho yang teraktivasi akan mengaktifkan Rho kinase yang akan mengaktifkan berbagai protein.
Hypoxia induced pulmonary artery vasoconstriction menyebabkan aktivasi Rho kinase, sehingga Rho kinase berperan pada pathogenesis pulmonary hipertensi. Saat ini banyak dikembangakan Rho kinase inhibitor untuk berbagai kepentingan terapi.
e. Mitogen-Activated Protein Kinase (MAP Kinase)
Suatu sistem yang mengontrol berbagai macam fungsi misalnya pembelahan sel, apoptosis dan regenerasi jaringan. MAPK tidak hanya diaktifkan oleh sitokin tetapi juga dapat diaktifkan oleh GPCR.
GPCR dapat mengalami desensitisasi melalui dua jalur :
- Fosforilasi Reseptor
- Internalisasi (Endositosis) Reseptor
Mekanisme kerja GPCR menghasilkan residu serin dan trionin terutama pada C terminal sitoplasmic tail, yang dapat mengalami fosforilasi oleh PKA, PKC dan protein bound pada GPCR (GRKS).
Aktivitas ini akan mengganngu coupling antara G protein dan aktivasi reseptor, sehingga efek agonis akan berkurang. Efek fosforilasi ini tidak spesifik sehingga dapat mempengaruhi reseptor yang lain. Oleh karena itu disebut heterologous desensitization.
Sedangkan fosforilasi pada GRKs sangat spesifik yaitu hanya akan bekerja pada reseptor yang teraktivasi sehingga disebut homologous desensitization.
Residu fosforilasi GRK berbeda dengan kinase yang lain dan reseptor yang ter-fosforilasi berperan sebagai binding site dari B-arrestin (protein intraselular yang mengeblok interaksi G protein dan berperan sebagai reseptor target endositosis). Karakteristik hambatan ini dapat bertahan lebih lama.
3. Kinase-Linked Receptor
Reseptor tipe ini berbeda dengan GPCR. Reseptor ini memiliki sebuah protein transmembrane yang cukup besar dengan jumlah residu bisa mencapai 1000. Reseptor ini mengontrol pertumbuhan dan diferensiasi serta secara tidak langsung meregulasi transkripsi gen.
Terdapat dua jalur utama reseptor kinase, yaitu :
- Jalur Ras/Raf/MAPK yang berperan penting pada pembelahan sel, pertumbuhan dan diferensiasi.
- Jalur Jak/Stat yang diinduksi berbagai sitokin, yang berperan dalam regulasi sintesis dan pelepasan mediator inflamasi.
Tipe kinase reseptor dapat dikelompokkan :
a. Reseptor Tirosin Kinase (RTKs)
Yang termasuk kelompok ini adalah epidermal growth factor, nerve growth factor, dan kelompok toll like receptor (TLR) yang penting pada infeksi bakteri.
b. Serin/Treonin Kinase
Jenis kelompok ini tidak banyak, seperti pada RTK. Contoh: transforming growthfactor (TCP).
c. Reseptor Sitokin
Jenis reseptor ini tidak memiliki aktititas enzim interinsik. Jika terkativasi, reseptor ini akan berasosiasi dan mengaktifkan tirosin kinasi sitosolik seperti Jak (Janus kinase). Ligan untuk reseptor ini antara ligan berbagai macam sitokin termasuk interferon gamma dan colony stimulatingfactor.
Signal transduksi umumnya melibatkan dimerisasi reseptor dilanjutkan autofosforilasi dri dari residu tirosin yang berperan sebagai reseptor SHZ untuk menghasilkan berbagai respon seluler.
Second messenger merupakan suatu molekul yang melanjutkan pesan dari ligan atau obat setelah berikatan dengan reseptornya. Karakteristik second messenger antara lain :
- Berupa molekul kecil, non-protein atau ion
- Dapat berdifus melalui membran sel dan menyampaikan informasi kepada berbagai target molekul.
Kaskade kinase diaktifkan GPCR baik secara langsung maupun tidak langsung melalui second messenger (Rang, et al., 2011).
4. Nuclear Receptor
Sejak tahun 1970-an telah diketahui bahwa reseptor untuk hormone steroid seperti estrogen dan glukokortikoid berada di sitoplasma dan akan ditranslokasi ke inti sel jika telah berikatan dengan ligannya.
Reseptor ini dikelompokkan menjadi 2 golongan utama, yaitu :
- Reseptor yang berada di sitoplasma, berada dalam bentuk dimer dan mengalami translokasi/migrasi ke nulkleus. Ligan untuk reseptor ini umumnya dari sistem endokrin (hormon steroid).
- Reseptor yang berada di dalam nukleus dan dalam bentuk heterodimer dengan retinoid X receptor. Umumnya ligannya berupa lipid (asam lemak). Reseptor inti ditampilkan pada Gambar 12. Sedangkan untuk hormon tiroid tidak termasuk keduanya karena termasuk endokrin tetapi berada dalam bentuk heterodimer dengan retinoid X receptor.
- (A) struktur reseptor inti dengan berbagai domainnya,
- (B) dua kelas utama reseptor inti,
- ER (estrogen receptor),
- FXR (Famesoid receptor),
- GR (Glucocorticoid receptor),
- HSP (Heat shock protein),
- LXR (liver oxysterol receptor),
- MR (mineralo corticoid receptor),
- PPAR (peroxisome proliferator receptor),
- PR (prolactin receptor),
- RXR (retinoid receptor),
- TR (Thyroid receptor),
- VDR (vitamin D receptor). (Rang, et al., 2011).
lkatan ligan dengan reseptornya akan mengawali perubahan pada transkripsi gen dengan berikatan dengan hormone receptor elemen (HRE) pada promoter gen dan mengikat faktor koaktivator maupun ko represor.
Signal transduksi merupakan suatu rangkaian proses biokimiawi yang melibatkan semakin banyak molekul (mengalami amplifikasi) untuk menghasilkan respon spesifik. Amplifikasi signal transduksi ditampilkan pada Gambar 13.
Amplifikasi signal transduksi melibatkan jutaan molekul untuk menghasilkan respon selular yang spesifik.
Secara umum, reseptor dalam sistem biologi dapat dikategorikan dalam 4 golongan seperti pada Gambar 14.
Interaksi Obat
Jika dua atau lebih obat diberikan dalan waktu bersamaan maka dapat terjadi interaksi yang berupa (Bijnsdrop, et al., 2011) :
- Addictive effect : jika respon dari obat obat tersebut mengikuti rumus penjumlahan.
- Synergystic effect : jika respon dari obat-obat tersebut lebih besar dari efek tunggalnya, tetapi lebih kecil dari efek penambahannya.
- Antagonistic effect : jika respon obat saling menghambat atau berlawanan.
Ikatan obat dengan reseptor dapat melalui beberapa cara (kiri) terkait dengan efek yang dihasilkan digambarkan dalam diagram kanan (Katzung, et al., 2015).
Agonis dan Antagonis
Dua obat atau lebih jika dibersamaan efek suatu obat dapat berupa efek terapi yang diharapkan maupun efek yang tidak diharapkan (efek clamping dan efek toksik).
Berbagai efek tersebut diperantarai ikatan ligan dengan reseptornya. Interaksi antara ligan dengan reseptornya dapat dikategorikan menjadi :
a. Agonis
Suatu obat atau endogenous ligan yang berikatan dengan resptornya. Ikatan yang terjadi antara agonis dengan reseptornya yang menghasilkan suatu efek biologis.
b. Antagonis
Dua obat atau ligan yang mempunyai reseptor yang sama, sehingga akan menduduki (meng-akupansi) reseptor yang sama. Misalnya, atropine menduduki reseptor asetilkolin sehingg amenghalangi asetilkolin berikatan dengan reseptornya. Kondisi ini mengakibatkan respon asetilkolih terhambat atau berkurang.
Peningkatan respon asetilkolin dapat ditingkatkan dengan menambahkan dosis asetilkolin, ikatan antagonis bisa bersifat reversible (dapat dipengaruhi konsentrasi agonisnya) ataupun dapat bersifat irreversible atau pseudoirreversible dengan ikatan yang sangat kuat.
Obat yang berikatan dengan reseptor yang sama dengan agonis tetapi tidak mempengaruhi atau menghambat ikatan agonis bekerja secara allosteric yang akan meningkatkan atau menghambat aksi agonis. Sedangkan obat yang menghambat ikatan agonis dengan reseptrnya disebut inhibitor (Katzung, et al., 2015).
Peran reseptor sangat penting untuk mengetahui respon suatu obat, terkait hal berikut :
- Reseptor sangat menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dengan efek farmakologis. Afinitas reseptor untuk berikatan dengan obat ditentukan konsentrasi obat untuk membentuk kompleks liganreseptor yang sesuai. Jumlah total reseptor membatasi efek maksimal yang dihasilkan.
- Reseptor berperan pada sensitifitas obat. Ukuran, bentuk dan muatan molekul menentukan apakan obat tersebut akan berikatan dengan reseptor spesifiknya. Perubahan struktur kimia obat secara drastis dapat meningkatkan atau menurunkan afinitas obat baru untuk jenis reseptor yang berbeda sehingga akan menyebabkan perubahan efek terapi maupun efek toksik.
- Reseptor memediasi peran agonis maupun antagonis. Agonis maupun antagonis bekerja pada respon tertentu baik pada reseptor yang sama (kompetitif agonis) maupun bekerja pada reseptor yang berbeda (agonis non kompetitif) (Rang, et al., 2011).
Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa respon suatu obat sangat tergantung afinitas (kecenderungan untuk berikatan dengan reseptornya) sehingga dapat menduduki (meng okupasi) reseptornya dan memiliki efikasi (kemampuan untuk menghasilkan respon).
Pada Gambar 18 tampak bahwa kompetitif inhibitor akan memberikan efek sesuai dengan ligan yang meng okupasi (yang lebih besar konsentrasinya). Sedangkan non kompetitif inhibitor masing masing ligan mengokupasi reseptor yang berbeda tidak terpengaruh oleh dosis atau konsentrasi ligan, namun efek yang ditimbulkan lebih kecil.
- A. Antagonis kompetitif terjadi jika agonis A dan antagonis I bersaing pada reseptor yang sama. Kurva agonis akan bergeser ke kanan (misalnya, EDSO bergeser ke kanan).
- B. Jika antagonis berikatan pada binding site yang sama tetapi tidak bersifat ireversibel atau pseudo-irreversible (disosiasi lambat tetapi bukan ikatan kovalen), menyebabkan kurva bergeser ke kanan dan penurunan efek maksimal. Efek alosterik terjadi jika ligan I berikatan dengan binding site (reseptor) yang berbeda juga akan menghambat respon (C) atau menyebabkan respon potensiasi (D). (Brunton, et al., 2008).
Jendela Terapi
Suatu bahan dapat berfungsi sebagai obat sekaligus sebagai racun tergantung dosis yang diterima. Batas dosis terkecil yang mulai menimbulkan efek (efikasi) sampai dosis terbesar yang tidak menimbulkan efek toksis disebut therapeutic window (jendela terapi).
Setiap obat memiliki rentang dosis yang berbeda dalam menimbulkan efek farmakologis. ada obat yang memiliki jendela terapi sempit dan yang memiliki jendela terapi yang luas.
Hubungan antara dosis respon dengan efek terapi, efek toksis, serta efek samping indeks terapi (TI) didefinisikan sebagai rasio TDSO/EDS
Terdapat obat dengan jendela terapi sempit misalnya warfarin (A) dan jendela terapi luas misalnya penisilin (B).
Kurva A memiliki potensi yang tinggi dan efikasi rendah, sedangkan kurva B memiliki potensi rendah dan efikasi tinggi.
Potensi adalah jumlah obat (misalnya dalam mg) yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek tertentu yang diinginkan. Suatu obat dikatakan memiliki potensi yang lebih jika jumlah obat yang dibutuhkan sedikit untuk menghasil suatu respon tertentu.
Sedangkan efikasi didefinisikan sebagai efek yang dihasilkan oleh suatu obat yang tergantung besarnya dosis.
Suatu obat dapat mengalami perubahan respon dari respon yang seharusnya dengan dosis yang sama. Respon obat yang mengalamai penurunan disebut toleransi, sedangkan respon obat yang mengalami peningkatan disebut sensitisasi.
Gambar 23 menunjukkan terjadinya sensitisasi suatu obat, sehingga menggeser kurva ke arah kiri. hal ini menunjukkan bahwa dengan inisiasi dosis yang kecil dapat menimbulkan efek yang lebih besar. Sedangkan toleransi terjadi karena respon obat yang semakin menurun dengan dosis sama.
Toleransi secara umum dibagi menjadi 2, yaitu innate dan acquired tolerance. Innate tolerance merupakan toleransi bawaan yang didapatkan secara genetis dan sudah ditemukan sejak pertama kali obat diberikan. Sedangkan acquired tolerance dibagi lagi menjadi 3, yaitu : farmakokinetik, farmakodinamik dan learn tolerance.
- Toleransi farmakokinetik. Terjadi karena perubahan distribusi dan metabolisme suatu obat setelah pemberian berulang. Mekanisme umum yang sering terjadi adalah peningkatan kecepatan metabolisme suatu obat.
- Toleransi farmakodinamik. Meupakan respon adaptif yang terjadi pada sistem sehingga menyebabkan menurunnya respon obat. Misalnya perubahan respon suatu obat akibat perubahan densitas atau efisiensi coupling reseptor terhadap ialur signal transduksi (Brunton. et al.. 2008).
Distribusi kumulatif suatu populasi terhadap obat tertentu (kiri). Distribusi frekuensi % populasi terhadap obat tertentu (Kanan) (Brunton, et al., 2008).
Kurva dosis respon suatu obat dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
- Graded Response
Respon obat yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dosis. Misalnya : tekanan darah, kontraksi otot, dll. - Quantal Dose Response atau All or None Respons Respon obat yang menghasilkan respon (tertentu) atau sama sekali tidak menghasilkan respon (tertentu). Misalnya : kejang atau tidak, mati atau survive, paralisis atau tidak.
Daftar Pustaka
- Craig CR, Stitzel RE. 2004. Modern Pharmacology with Clinical Applications. USA: Lippincott William and Wilkins.
- Brunton L, Chabner B, Goodman LS, Knollman B. 2011. Goodman and Gilman’s Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th edition. USA: McGraw Hill Companies.
- Katzung BG, Trevor AJ. 2015. Basic and Clinical Pharmacology 13th edition. USA: McGraw Hill Companies.
- Ritter J, Flower R, Henderson G, Rang H. 2015. Rang and Dale’s Pharmacology. 8th edition. UK: Churchill Livingstone.
Sangat bagus utk meningkatkan pemahaman di bidang kesehatan,