Sejarah Kedokteran Dunia
Awalnya sebagian besar kebudayaan di masyarakat menggunakan tumbuh-tumbuhan (herbal) dan hewan untuk tindakan pengobatan. Pada zaman dahulu orang percaya bahwa penyakit berasal dari roh-roh jahat.
Oleh sebab itu selain menggunakan tumbuhan dan hewan, masyarakat tersebut menggunakan tarian, jampi, dan jimat untuk menyembuhkan orang sakit.
Seiring dengan berkembangnya zaman, ilmu kedokteran berangsur-angsur juga membaik dan berkembang di berbagai tempat secara terpisah, yakni di Mesir kuno, Tiongkok kuno, India kuno, Yunani kuno, Persia, dan lainnya.
1. Sejarah ilmu kedokteran di Mesir kuno
Sekitar 2.600 SM, di Mesir sudah terdapat dokter atau ahli pengobatan, yaitu Imhoten. Imhoten terkenal dengan pengetahuannya dalam ilmu fungsi dan penyakit. Dokter-dokter di Mesir kuno menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari suatu penyakit di sekolah yang berupa kuil.
Di sana mereka belajar dan berlatih bagaimana cara bertanya, memeriksa, dan memperlakukan orang sakit. Mereka juga sudah bisa memberi resep obat.
Selain itu, menurut catatan sejarah masyarakat Mesir kuno, pada masa lalu telah mengenal dokter gigi, sebuah profesi yang sangat penting pada zaman tersebut.
2. Sejarah kedokteran di Tiongkok kuno
Dokter-dokter di Tiongkok percaya bahwa suatu penyakit berasal dari Yin dan Yang yang tidak seimbang dalam tubuh seseorang. Obat dan perawatan digunakan untuk menyeimbangkan kembali antara Yin dan Yang tersebut.
Hingga saat ini ratusan obat herbal dan teknik pengobatan Tiongkok masih digunakan dalam menyembuhkan beberapa penyakit, salah satunya adalah akupuntur.
Pengobatan di Tiongkok didasarkan pada buku kedokteran kuno terkenal yang ditulis oleh Kaisar Huang Ti Nei Ching pada Tahun 479-300 M. Dokter-dokter di Tiongkok pada zaman itu sangat pintar dalam mengobati luka, patah tulang, alergi, dan penyakit lainnya.
Mereka memberikan pengobatan dengan mendiagnosis pasien serta bertanya mengenai gejala yang dirasakan, makanan yang dimakan ataupun penyakit yang pernah diderita pasien sebelumnya. Selain itu, pada zaman Tiongkok kuno, dokter-dokter di Tiongkok sudah biasa memeriksa denyut nadi pasien.
3. Ilmu kedokteran di Yunani dan Roma kuno
Ilmu kedokteran di Yunani muncul pada abad ke-5 SM. Pengobatan pada saat itu berorientasi pada ilmu gaib dan keagamaan. Hipocrates menulis 50 risalah yang menekankan faktor ekologis.
Pada zaman Yunani, kesehatan merupakan keseimbangan dari 4 humoral, yaitu darah, flegma, kuning empedu, dan empedu hitam. Umumnya penyakit timbul apabila kehilangan keseimbangan dari salah satunya.
Cara dokter memperbaiki keseimbangan tersebut adalah melalui penggunaan makanan, latihan gerak otot, dan obat yang diracik. Kedokteran di Yunani sudah memiliki reputasi. Dokter-dokter di Yunani meminta biaya atas jasa mereka dalam mengobati penyakit dan melakukan pelatihan kedokteran melalui magang.
Orang Romawi juga menggunakan ukuran kesehatan masyarakat yang terkait dengan melihat penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan perbaikan kebersihan diri sendiri.
4. Sejarah ilmu kedokteran di Arab kuno
Pada abad ke-7 M, terdapat banyak ilmuwan Arab yang telah menguasai berbagai ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Dokter dan ilmuwan hebat yang berasal dari Arab di antaranya adalah Al-Razi. Al-Razi dikenal sebagai dokter pertama yang mampu mengidentifikasikan penyakit cacar dan campak.
Al-Razi adalah dokter yang diagungkan pada zaman itu. Beliau juga sangat produktif dalam menulis buku. Oleh karena itulah, Al-Razi dikenal tidak hanya di Timur, tetapi juga terkenal di Barat sehingga beliau diberi gelar The Arabic Galen.
Buku yang berjudul Al-Hawi merupakan ensiklopedia tentang terapeutik yang ditulis oleh AI-Razi. Bukunya sangat tebal dan karyanya itu sangat berharga, sehingga buku Al-Hawi menjadi buku rujukan di Eropa dalam menyembuhkan berbagai penyakit dan perawatan pada pasien.
Ilmu kedokteran seperti yang dipraktikkan pada masa kini berkembang pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Inggris oleh William Harvey (abad ke-17), di Jerman oleh Rudolf Virchow, dan di Perancis oleh Jean-Martin Charcot dan Claude Bernard.
Ilmu kedokteran modern atau kedokteran “ilmiah” merupakan ilmu yang di mana semua hasilnya telah diuji-cobakan, menggantikan tradisi awal kedokteran Barat, herbalisme.
Sekarang ilmu genetik juga telah memengaruhi ilmu kedokteran. Hal ini dimulai pada saat ditemukannya gen penyebab berbagai penyakit akibat kelainan genetik dan perkembangan teknik biologi molekuler.
Ilmu herbalisme juga berkembang menjadi farmakologi. Kedokteran pada masa modern benar-benar berkembang dimulai dari penemuan Heinrich Hermann Robert Koch sekitar tahun 1880, yang mengatakan bahwa penyakit disebarkan melalui bakteri, kemudian disusul dengan penemuan antibiotik pada tahun 1900-an.
Antibiotik pertama yang ditemukan pada saat masa itu adalah obat Sulfa yang diturunkan dari Anilina. Penanganan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri berhasil menurunkan tingkat risiko dan penyakit infeksi pada masyarakat Barat. Sejak saat itulah industri obat dimulai.
Sejarah Kedokteran di Indonesia
Sebelum ilmu kesehatan Barat masuk ke Indonesia, dalam masyarakat Indonesia telah dikenal pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional adalah pengobatan yang berdasarkan tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi.
Pengobatan tradisional ini mengandung unsur spiritual dan kegaiban serta unsur materi berupa daun-daunan, akar-akar, kulit kayu, dan lainnya yang sudah diakui secara empirik khasiatnya untuk penyembuhan.
Selain itu, ada juga unsur fisik seperti pada kasus patah tulang, lelah otot, dan sebagainya. Obat-obat tradisional atau yang dikenai dengan jamu-jamu masih digunakan hingga saat ini, di mana masyarakat masih sering mengonsumsinya di samping obat-obatan modern.
Dalam masa penjajahan Belanda, ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh dokter-dokter yang didatangkan untuk melayani kesatuan militer Belanda. Pada saat itu kekhawatiran tentang penularan penyakit cacar yang berbahaya mendesak Belanda untuk mendidik tenaga pembantu dalam pelaksanaan vaksin cacar, yaitu “vaccinateur“.
Pada tanggal 1 Januari 1851, dr. W. Bosch mendirikan Witeweden (sekarang Jakarta Pusat) di bawah pimpinan dr. P. Bleeker sebuah sekolah untuk pemuda-pemuda Jawa menjadi dokter Jawa, yang lamanya pendidikan selama 2 tahun.
Pada tahun 1864 mulai diterima pendidikan untuk pemuda-pemuda pribumi lainnya. Pada tahun 1864 pendidikan kedokteran diperpanjang menjadi 3 tahun. Pada tahun 1875 pendidikan kedokteran ditambah menjadi 7 tahun, yang terdiri dari 2 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian kedokteran dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Pada tahun 1890, untuk masuk ke sekolah kedokteran, calon murid harus sudah lulus Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagera Scholl) terlebih dulu. Nama sekolah kedokteran juga diganti menjadi School tot Opleiding van lnIandsche Artsen (STOVIA), dan kelulusannya akan mendapat gelar “Inlandsch Arts” atau Dokter Bumiputera.
Lalu pada tahun 1913 dibuka juga sekolah kedokteran kedua di Surabaya yang diberi nama Nederlandsch Indische Artsen School yang disingkat menjadi NIAS. Kelulusan dari sekolah NIAS ini akan diberi gelar“Indisch Arts”atau Dokter Hindia.
Pada tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) untuk menggantikan STOVIA. Sedangkan STOVIA sendiri tidak lagi menerima murid baru, hanya menyelesaikan pendidikan para siswa yang sudah ada. Lulusan terakhir dari STOVIA adalah dokter Sanjoto yang lulus pada tahun 1934, dan pada waktu itu juga sekolah STOVIA resmi ditutup.
Berdirinya Perguruan Tinggi Kedokteran pada tahun 1927 adalah hasil perjuangan para dokter di lndonesia dengan dukungan dari direktur dan mantan direktur STOVIA dan NIAS. Dr. Abdul Rivai yang mengusulkan pertama kali diadakannya pendidikan Universitas di Indonesia.
Dari pihak Indische Asrtsen Bond (Ikatan Dokter Indonesia) yang duduk sebagai penasihat pendiri perguruan tinggi kedokteran adalah dokter J. Kajadoe, Abdoel Rasjid, dan R. Soetomo.
Berkat perjuangan dokter-dokter tersebut ijazah Perguruan Tinggi Kedokteran Betawi disamakan dengan ijazah fakultas kedokteran di negeri Belanda. Selain itu, didirikan juga sebuah sekolah Dokter Gigi (School tot Opleiding van Indische Tardartsen, disingkat menjadi STOVIT) di Surabaya pada tahun 1928.
Lulusan dari STOVIT mendapat gelar sebagai Dokter Gigi Hindia, dengan ijazah dokter gigi Hindia dibuat lebih rendah dari pada ijazah dokter gigi Belanda.
Pada tahun 1953 oleh WHO didatangkan suatu tim kesehatan yang terdiri dari ahli-ahli ilmu kedokteran yang dikumpulkan dari berbagai negara untuk memberikan kuliah atau membagi ilmu di Universitas di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan beberapa kota besar lainnya.
Sejak saat itu dimulailah kerja sama dengan universitas di luar negeri. Sistem pendidikan dokter di Indonesia menjadi lebih baik. Pengadaan pendidikan spesialis juga lebih mudah dan lebih cepat.
Selain itu, dengan terus berkembangnya ilmu kedokteran di Indonesia, terjadi juga penambahan Fakultas Kedokteran. Penambahan jumlah Fakultas Kedokteran juga didirikan di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Jawa yang peminatnya meningkat dengan sangat cepat setiap tahunnya.
Pustaka:
Pratiwi, Wulan Mulya dan Welly Elvandari. 2006. Kuliah Jurusan Apa? Kedokteran. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.