Istilah sel punca atau stemcell sudah tidak asing lagi di dunia kesehatan. Sel-sel ini bertanggung jawab untuk menjaga tubuh kita bekerja setiap harinya, seperti membuat jantung berdetak, otak berpikir, mengganti kulit yang terkelupas, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, fungsi utama sel punca adalah untuk menciptakan berbagai jenis sel tersebut.
Menurut dr. Dessy Hendro Guyanto dari Klinik Effatha, penemuan sel punca tidak bisa lepas dari pertama kali ditemukannya sel sebagai building block organism yang hidup pada abad ke-18.
“Pada awal 1900-an, ditemukan bahwa terdapat sel-sel tertentu yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan sel darah. Namun istilah sel punca baru ditemukan pada 1978 oleh Dr. Gregor Pindull,”
kata Dessy.
Namun, kata Dessy, pengembangan sel punca dalam bidang penelitian dan penggunaannya untuk mengobati penyakit tidak terlepas dari masalah etika yang hingga sekarang masih kontroversional, terutama penggunaan dan pemanfaatan sel punca yang berasal dari embrio (embryonic stem cells).
“Memang ada pro dan kontra, khususnya penggunaan dan pemanfaatan sel punca yang berasal dari embrio (embryonic stem cells). Karena embrio harus dihancurkan bila ingin diambil sel puncanya. Artinya, kita harus menghilangkan satu kehidupan,” ujarnya.
Menurut konsultan Kesehatan dr. Elvin Erick Gultom, aging atau penuaan merupakan suatu proses yang kompleks dimana sel rusak secara progresif sejalannya dengan waktu sampai akhirnya terjadi kematian sel. “Terapi stem cell memberikan solusi dengan menghambat dan membalikkan proses penuaan tersebut,” katanya.
Ia melanjutkan, stem cell memiliki efek anti aging (penuaan) yang unik dengan melakukan regenerasi dan perbaikan organ tubuh yang rusak akibat toksin dan radikal bebas akibat gaya hidup sehari-hari.
Terapi stem cell berperan membantu tubuh seseorang untuk memperbaiki organ tubuh termasuk ke kulit, sehingga hasilnya akan mengurangi bintik dan bercak hitam akibat peningkatan umur. “Juga mengurangi nyeri leher dan tulang belakang, mengurangi kelelahan, meningkatkan energi tubuh dan secara keseluruhan dapat memperbaiki kualitas mental dan fisik seseorang,” katanya.
Inovasi inilah yang dikembangkan di industri kesehatan di Jepang saat ini. Dalam temuan itu, secara teoritis, seseorang tidak lagi perlu mengumpulkan sel punca dari embrio atau berusaha untuk menemukannya dalam tubuh manusia. Kita dapat membuat sel iPS sendiri.
Agar sel iPS dapat berubah menjadi jenis sel lain, maka sel tersebut harus bermultiplikasi. Dan untuk melakukannya, sel-sel tersebut harus berada dalam lingkungan yang tepat, sebagaimana benih memerlukan tanah untuk tumbuh.
Lingkungan yang tepat untuk membiakkan sel disebut media kultur, yang merupakan campuran antara asam amino, vitamin, glukosa, lemak, faktor-faktor pertumbuhan, dan sejumlah kecil mineral yang penting untuk perkembangan sel.
Di Jepang, Shinya Yamanaka, peraih Penghargaan Nobel tahun 2012 di bidang fisiologi atau kedokteran bersama dengan John B. Gurdon atas penemuan bahwa sel-sel yang matang dapat diprogram kembali untuk menjadi pluripoten.
Pada tahun 2010, dua tahun sebelum menerima Penghargaan Nobel untuk karyanya, Shinya Yamanaka memulai suatu program yang disebut CiRA, Pusat Riset dan Penerapan Sel iPS, dengan misi menggunakan sel iPS untuk terapi baru dalam dunia medis. Dan sebagai pelopor dunia dalam riset dan produksi asam amino, Ajinomoto Co. secara alami terlibat dalam proyek kerja sama dalam mengembangkan media kultur yang ideal untuk riset sel iPS CiRA.
Ajinomoto Co. telah menerapkan keahliannya dalam asam amino untuk mengembangkan bidang farmasi selama lebih dari 60 tahun. Pada tahun 1956, Ajinomoto Co. menjadi perusahaan pertama di dunia yang memproduksi kristal asam amino untuk keperluan infus, produk nutrisi enteral, dan bahan-bahan farmasi.
Selanjutnya, Ajinomoto Co. mengembangkan serangkaian diet unsur dasar (elemental) dan obat-obatan lainnya. Dengan demikian Ajinomoto Co. memang merupakan mitra yang tepat untuk mengembangkan media kultur bagi CiRA.
Di tahun 2010, Shinya Yamanaka membuat suatu program yang disebut CiRA, Pusat Riset dan Penerapan Sel iPS, dengan misi menggunakan sel iPS untuk terapi baru dalam dunia medis. Salah satu yang dikembangkan saat ini adalah StemFit®. StemFit® merupakan media kultur dengan kualitas dan performa tinggi. Proliferasi sel dalam media kultur StemFit® memiliki laju pertumbuhan tinggi. Hal ini tidak saja menjadikan riset lebih efisien, tetapi juga lebih hemat biaya.
Seperti diketahui, salah satu hambatan terbesar dalam obat regeneratif dengan menggunakan sel iPS adalah biaya dan waktu yang diperlukan untuk memproduksi sel iPS dari sel somatik, sehingga stok yang tersedia bagi lembaga riset dan rumah sakit di seluruh dunia ini diharapkan memberikan dampak positif yang besar. (source: kumparan.com)