Momen Hari Anak Internasional 1 Juni bisa jadi titik tolak kita untuk menghentikan usaha eksploitasi anak, bahkan yang tak kita sadari dilakukan. Berhenti memaksa anak melakukan hal yang tak disukainya, Bun!
Berapa banyak anak di bawah umur yang menjadi pengemis atau pengamen di jalanan? Berapa banyak kita bisa melihat anak kecil yang didandani dan bergaya bicara seperti orang dewasa saat menonton acara televisi?
Terlalu sering dan terlalu banyak.
Yes, dan kita seringkali tak sadar. Atas nama menyalurkan minat dan bakat anak, kita pun sering melakukan tindakan eksploitasi anak. Meminta mereka, kalau tidak mau dikatakan “memaksa”, untuk melakukan hal-hal yang hanya untuk memuaskan keinginan kita sendiri.
Yes, eksploitasi anak merupakan tindakan memanfaatkan anak sebagai objek penghasil uang, atau apa pun, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan orang dewasa di sekitarnya.
Parahnya, eksploitasi anak paling banyak dilakukan justru oleh orang tuanya sendiri. Dengan alasan membantu ekonomi keluarga, mereka pun dipaksa untuk ‘bekerja’.
Menurut survey oleh Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 tercatat 4.1 juta anak atau sekitar 6.9% dari total 58.7 juta anak Indonesia usia 5-17 tahun menjadi pekerja di bawah umur. Dan mirisnya, angka tersebut bertambah setiap tahunnya.
Duh!
Jangan hanya iba pada korban eksploitasi anak
Indonesia sebenarnya memiliki peraturan yang jelas mengenai eksploitasi anak, seperti yang tercatat dalam pasal 88 UU no. 23 tahun 2002.
Di dalamnya tercantum, bahwa jika seseorang terbukti melakukan eksploitasi ekonomi terhadap seorang anak, maka dapat diancam pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp. 200 juta.
Sayangnya, peraturan tersebut belum dijalankan secara efektif. Buktinya, masih banyak anak di bawah umur, bahkan balita, berkeliaran di jalanan untuk mencari uang. Baik mereka sendiri yang harus mengemis dari jendela mobil yang satu ke jendela mobil lainnya, atau mereka, bayi, yang digendong oleh “ibu palsu” demi rasa iba dan sodoran uang sekadarnya.
Peran kita, Bun, sebagai masyarakat pun dibutuhkan di sini.
Mungkin saja kita akan merasa iba saat bertemu mereka ya. Berpakaian lusuh, bertubuh kurus, berwajah memelas. Tetapi, sebaiknya berhentilah memberi uang, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah, melainkan hanya menambah jumlah anak-anak jalanan tersebut dari hari ke hari.
FYI, Bun, bertambahnya jumlah pengemis dan pengamen di bawah umur dari tahun ke tahun terjadi karena mereka ‘menikmati’ rasa kasihan yang kita berikan pada mereka.
Ya, rasa iba menjadi komoditas yang mereka jual.
‘Kemudahan’ hidup di jalanan membuat para pengemis dan pengamen anak-anak ini tak termotivasi untuk melepaskan diri dari cengkeraman jalanan. Mereka pun semakin sulit menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi.
Ngemis dan ngamen lebih enak, Bun!
Hal itu pula yang kemudian mendorong pemerintah kita untuk melarang warganya memberikan uang kepada pengemis. Sudah ada undang-undangnya malah ya, di tiap-tiap daerah. Setidaknya di kota domisili saya, sering sekali saya lihat ada baliho dengan imbauan, agar kita tak memberi uang pada pengemis dan pengamen di jalanan.
Di dalam undang-undang tersebut disebutkan, bahwa memberi sejumlah uang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil serta membeli barang dari pedagang asongan di jalanan bisa diganjar penjara 10 – 60 hari, atau denda Rp 100 ribu hingga 20 juta.
Duh, maunya membantu mereka tapi kok malah diancam hukuman? Nggak adil!
Eits, jangan hanya sekadar melihat dalam satu waktu saja, Bun. Pikirkan dampak di baliknya, telisik lebih jauh. Lagipula, apakah Bunda yakin, uang yang kita berikan pada si pengemis cilik dan remaja itu akan dinikmati sendiri oleh mereka? Bisa saja tidak.
Memang betul, sudah tugas kita untuk membantu saudara dan sesama kita yang kurang mampu. Kita memang diajarkan untuk begitu. Namun, selain memberi mereka uang di jalan raya, ada hal lain kok yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka, dan akan lebih tepat sasaran demi mengurangi jumlah eksploitasi anak.
Jadilah sahabat mereka
Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan mereka dari eksploitasi anak adalah dengan menjadi sahabatnya.
Perlakukan mereka seperti anak pada umumnya, dan dengarkanlah keluhannya. Berhentilah memberikan pandangan iba atau malah sinis pada mereka, karena sejatinya mereka juga punya perasaan dan butuh perlindungan.
Jangan ragu untuk mengajak mereka mengobrol jika Bunda bertemu dengan anak-anak ini di angkutan umum, misalnya, atau di tempat umum lain. Anak korban eksploitasi sesungguhnya sangat membutuhkan teman yang dapat mendengarkan dan membantunya keluar dari jalanan.
Jika Bunda menemukan anak di bawah umur yang menjadi korban eksploitasi anak dan diperlakukan dengan tak wajar, Bunda juga bisa melaporkannya ke Telepon Anak Sehat 129 milik Kementerian Sosial.
Bunda juga bisa mencari tahu dan memperkenalkan mereka pada yayasan-yayasan yang peduli terhadap anak jalanan.
Dan, Bunda, sadarkah Bunda, bahwa eksploitasi anak ternyata tidak hanya terjadi di jalanan, pada anak-anak kurang mampu saja. Anak dari keluarga berkecukupan pun juga bisa menjadi korban. Dan, bahkan, pelaku eksploitasi anak adalah orang tuanya sendiri.
So sad! Eksploitasi anak yang terjadi di dekat kita
Ya, eksploitasi anak bisa terjadi di dekat kita. Atau, malah kita lakukan sendiri.
Seringkali kita terjebak soal ini, Bun. Atas nama menyalurkan minat, kita akhirnya “memaksa” anak untuk melakukan sesuatu. Kita yakin anak kita menikmatinya, hingga kemudian tak ada waktu untuknya beristirahat atau bermain layaknya anak-anak lain. Semua hanya untuk “bekerja” dan “bekerja”.
Seorang anak bisa dikatakan menjadi korban eksploitasi jika:
Diwajibkan melakukan sesuatu demi mewujudkan ambisi orang tua. Contohnya, dipaksa mengikuti lomba fashion show, padahal anak tidak menyukainya.
Didandani dan diajari berbicara layaknya orang dewasa demi mendapatkan popularitas
Dipaksa melakukan sesuatu hingga membuatnya tertekan, seperti mengikuti banyak kursus di luar sekolah tanpa memberinya kesempatan memilih
Disertakan dalam berbagai lomba pemilihan model atau casting sinetron dengan tujuan mendapatkan uang
Diberikan tanggung jawab melebihi kemampuannya, sehingga ia tidak bisa memperoleh hak sebagai anak-anak, seperti hak untuk bermain.
Itulah beberapa hal yang bisa digolongkan sebagai eksploitasi anak yang saya rangkum dari beberapa sumber.
Dan, sepertinya, sekaranglah saatnya kita merenung. Apakah kita telah melakukan salah satunya pada anak kita, Bun? Mungkin kita memang berniat baik, tapi apakah kita sudah mendengar sendiri pendapat anak mengenainya.
Si kecil tampak suka menari, lalu kita daftarkan ke kelas menari balet, misalnya. Benarkah ia menikmatinya? Benarkah ia melakukannya tanpa terpaksa?
Selalu tanyakan pendapat anak, mengenai apa saja yang disukainya, dilakukannya dan diinginkannya. Agar kita terhindar dari perilaku eksploitasi anak.
Well, selamat Hari Anak Sedunia, Bun! Semoga anak-anak kita bisa selalu tumbuh dengan bahagia ya! Bukankah itu yang terpenting bagi kita, orang tuanya?
*Oleh Ririe Khayan | @ririekhayan via rockingmama.id