Kasus Resistensi Antibiotik di Indonesia Semakin Memburuk, Peran Apoteker Semakin Dibutuhkan

Resistensi antibiotik saat ini telah menjadi salah satu permasalahan global, bukan hanya di Indonesia, tetapi negara maju seperti Perancis, Portugal, dan Spanyol pun masih kewalahan mencari cara untuk mengurangi penggunaan antibiotik di masyarakatnya.

Diungkapkan dr Hari Paraton, MD, SpOG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), “Hanya ada sedikit negara yang bisa mengendalikannya, seperti Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman”.

Di sisi lain, banyak dokter di Indonesia yang tidak memiliki pemahaman yang cukup terkait resistensi antibiotik. “Setelah kita teliti kok masih naik, jadi angka resisten di RS itu kisarannya 49-84 persen. Bisa dibilang hampir nggak mempan karena rata-rata udah multiresisten,” jelasnya.

Penelitian yang dilakukan oleh antimicrobial resistance in Indonesia (AMRIN) menemukan bahwa sebesar 46-54% penggunaan antibiotik pada anak dinyatakan tidak tepat dan tidak sesuai indikasi. Pada penelitian lain yang lebih spesifik yang dilakukan oleh AMRIN, didapatkan bahwa 43% bakteri Eschericia coli di Indonesia sudah mengalami berbagai resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan antibiotik di Indonesia sudah cukup memprihatinkan dan perlu segera diselesaikan.

Strategi WHO Indonesia

Dr. Dewi Indriani, selaku penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, memaparkan bahwa kondisi resistensi antibiotik perlu dengan segera mendapat penanganan yang tepat. Meski tidak dapat ditangani dengan cepat, namun jika kondisi resistensi ini semakin larut maka akan merugikan semua pihak mencakup kesehatan, kedokteran, hewan, pertanian, keuangan, lingkungan, dan terutama konsumen.

Ada pun langkah yang tengah dilakukan dalam menangani kuman kebal antibiotika atau resistensi antimikroba dengan Global Action Plan on Antimicrobial Resistance, di mana terdapat lima tujuan strategis untuk memerangi resistensi ini.

Baca juga:  Sejarah Warfarin: Dari Pembunuh Ternak, Racun Tikus, Hingga Obat Paling Dibutuhkan Manusia

Berikut langkah yang dipaparkan oleh Dewi:

  1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antibiotika.
  2. Memperkuat surveilans (manusia dan hewan) dan penelitian.
  3. Melakukan upaya-upaya pencegahan infeksi. Baik dari segi individual dan layanan kesehatan.
  4. Mengoptimalkan penggunaan obat-obat antimikroba.
  5. Memastikan investasi berkelanjutan dalam melawan resistensi antimikroba.

Penelitian Resistensi Antimikroba

Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia, pada tahun 2000-2004 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP dr. Kariadi Semarang, membuktikan bahwa sudah terdapat kuman multi-resisten seperti MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcusaureus) dan bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases).

Selain itu di temukan 30% sampai dengan 80% penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi. Hal ini tidak hanya merupakan ancaman bagi lingkungan yang berkaitan tetapi juga bagi masyarakat luas. Sedangkan menurut data WHO, pada tahun 2013 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia.

Data ini menunjukan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.

Langkah yang Diambil Pemerintah

Menjawab permasalah yang ada, Kementerian Kesehatan telah membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), yang terdiri dari pengambil kebijakan bidang kesehatan, organisasi profesi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk dapat selalu bekerja sama menjadi penjuru dalam mengembangkan dan mengawal Program Pengendalian Resistensi Antimikroba secara luas, baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di masyarakat.

KPRA sudah dibentuk sejak tahun 2014 dan melaksanakan program pengendalian resistensi antimikroba di awali dari 144 rumah sakit rujukan nasional dan regional serta Puskesmas di 5 provinsi pilot project termasuk Jawa Timur.

“Pasien harus cerdas, dokter juga tidak boleh sembarangan memberi antibiotik. Perlu kerjasama semua pihak untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik ini, terutama keterlibatan institusi pendidikan, organisasl kemasyarakatan, organisasi profesi, perusahaan farmasi dan dinas kesehatan,” jelasnya.

Baca juga:  13 Kampus dengan Jurusan Farmasi Terbaik di Indonesia

Sebab, jika resistensi antibiotik dialami seseorang, tidak ada antibiotik yang bisa membantubjika terjadi infeksi virus. Sebab jumlah antibiotik yang ada masih terbatas dan untuk membuat antibiotik baru dibutuhkan 8 kali penelitian.

“1 kali penelitian bisa sampai 2 triliun, Jadi butuh 16 triliun untuk menemukan 1 antibiotik baru. Dan waktunya tidak singkat,” jelasnya.

Peranan Apoteker Sebagai Pengendali Resistensi Antibiotik

Pemberian antibiotik yang tidak terkendali dengan baik, telah menyebabkan lahirnya bakteri “Super Bug” yang sangat sulit untuk diatasi. “Bakteri super” yang bersifat multi-resisten terhadap berbagai jenis antibiotik ini telah menjadi ancaman serius dalam bidang kesehatan di seluruh dunia. Hanya dalam waktu sekitar 75 tahun sejak digunakan secara massal, kini dunia dihadapkan pada masa depan yang amat mengkhawatirkan karena kemungkinan tidak ada lagi antibiotik yang efektif untuk mengatasi beberapa tipe bakteri patogen yang multi-resisten.

Ancaman pandemi bakteri yang resisten terhadap antibiotik kini telah nyata dan berskala besar. Kecepatan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya penemuan dan pengembangan antibiotik baru. Penemuan dan pengembangan antibiotik baru memerlukan biaya yang sangat mahal, sehingga dalam 2—3 tahun terakhir ini tidak ada antibiotik baru yang diciptakan.

Menurut Prof. Dr. Maksum Radji M.Biomed., Apt., peran sentral profesi farmasi sangat penting dalam mengendalikan penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional. Upaya pengendalian penggunaan antibiotika yang dapat dilakukan apoteker adalah dengan menghentikan penjualan antibiotik tanpa resep, memberi informasi yang tepat dan jelas pada pasien pada penyerahan antibiotik, dan memberikan pendidikan pada masyarakat tentang antibiotik yang bijak serta dampaknya pada kesehatan secara umum. Selain itu, koordinasi dan kolaborasi antar profesi kesehatan pada unit pelayanan kesehatan dan rumah sakit juga diperlukan guna meningkatkan kualitas hidup pasien.

Tinggalkan komentar